Korwil 7: Keluar dari Zona Nyaman

Korwil 7 adalah group online Kelas Bunda Sayang, program dari Institut Ibu Profesional.  Pesertanya merupakan gabungan dari beberapa kota di Indonesia dan Luar Negeri.


Tentang Pembicara
Dieni Rachmawaty ibu dari dua puteri, Afa (6 tahun) dan Ulya (3 tahun).  Berdomisili di Singapura selama 17 tahun, mulai dari kuliah, bekerja hingga bertemu jodoh.

Sejak lulus dari SMP, Dieni sudah tinggal jauh dari orangtua, karena diterima di sekolah Taruna Nusantara, Magelang.
Adaptasi drastis, dari tinggal bersama orang tua lalu pindah ke asrama bersama kawan-kawan baru, menjalani keseharian ketat terjadwal, menempuh pendidikan yang sarat aktivitas jasmani rohani, dan kesempatan berkumpul dengan keluarga pun hanya setiap libur caturwulan.
Tantangan di kala itu sebagian besar adalah bagaimana harus belajar mandiri jauh dari keluarga. Jujur sebelumnya tidak pernah diwajibkan mengerjakan tugas rumah (mencuci, menyapu, menyetrika, bersih-bersih,dll) oleh ibu di rumah. Di asrama juga pertama kalinya  belajar mengatur uang saku pemberian sekolah & juga dari orang tua.  Selengkapnya simak pengalaman Dieni di blog pribadi.


Tanya jawab
Dian - Singapura
1. Selain kaget dengan kendala bahasa. bagaimana bersosialisasi di kampus yang mahasiswanya beragam latar belakang.
2. Selain temen dari SMA, orang mana yg pertama  jd temen dekat?
3. Ada rencana pengen kembali kerja,

Jawab:
Sebetulnya sama seperti masuk sekolah baru dan ketemu teman baru ya. Bedanya saat itu harus pakai bahasa Inggris.
Awalnya kagok, tapi lama-lama saya jadi punya bahan pertanyaan favorit.  Seperti  darimana asalnya, berapa lama journey ke Singapore, ambil jurusan apa, tinggal di hall (asrama) mana.
Tambahan, siap melihat perbedaan, jangan kaget lihat baju-baju pendek, atau yang (maaf) jorok memakai dapur asrama, dll.
Siap menjelaskan kalau ada yg bertanya tentang aturan islam (makan halal, sholat, dll) karena mungkin mereka memang tidak tahu.
Ramah, tapi harus ttp waspada jangan asal kasih kontak/alamat, misalnya. Saya trauma, diawal kuliah, lagi ke 'kota' lalu disapa mas2 india/bangladesh muslim.
Namanya masih takjub disapa orang asing, saya ladenin dianggap kawan baru. Ngasih nama & alamat asrama dan beneran didatengin.
2. Temen satu jurusan yg muslimah juga. Soalnya langsung cepet jadi temen curhat.
Dulu pas jaman saya, semua mahasiswa luar negeri langsung dipilihkan akomodasi di asrama utk satu tahun (tetap bayar, tapi jadi ga perlu saingan dgn mahasiswa lain).
Tahun berikutnya kita perlu ngumpulin poin dari ikut ekskul, supaya bisa tetap tinggal di asrama.
3. Very good question!
Hmmmm belum ada keinginan balik kerja kantoran, tapi masih bercita-cita punya usaha dari rumah suatu saat nanti. Amiinn

4. Erli - Batam
Akan seterusnya di Singapura?

Jawab:
Saya dan suami masih tetap punya keinginan utk kembali ke indonesia. Hanya yaa sepertinya sekarang ini rezeki suami masih dilewatkan di sini. Kami menjalani dulu. Apalagi setelah belajar di IIP. Kalau saya sudah pulang sebelumnya mungkin malah ngga dapat kesempatan belajar langsung sama ibu2 IIP Singapura.

5. Novi - Singapura
Saat memutuskan jadi ibu Rumah Tangga ada hambatan gak? Saya dulu paling nggak tega itu sama orangtua saya. Karena mereka ingin saya kerja. Jadi merasa bersalah karena mereka sudah menguliahkan saya dengan biaya yang besar bagi Bapak ibu saya yang pegawai negeri biasa. Jadi sepertinya mereka kecewa dan saya juga merasa bersalah. Bagaimana dengan Dieni?

Jawab:
Mirip-mirip mba. Berat yg ini memang.
Orangtua saya dulu PNS dan karyawan BUMN, kerja sampai usia pensiun.
Memang tidak secara langsung ditentang, tapi beberapa kali tetap ada obrolan tentang eman/sayang kalo ga kerja, sayang sudah stabil jadi PNS di sini, lalu istri itu sebaiknya punya pegangan financial juga, sampai hitung-hitungan menggaji ART kan gajiku masih akan lebih banyak sisanya dan sebagainya.
Dulu saya berusaha meyakinkan bahwa saat itu niat saya ingin membenerkan mengurus keluarga, dan ingin belajar lagi mendampingi anak-anak.
Dan saya bilang, yang jelas kalau saya meneruskan kerja di tempat yang sama, dengan sering lembur, itu kurang baik untuk keluarga saya, itu yang mau saya perbaiki.

Saya juga bilang kalau saya mungkin belum bisa memberi bukti apa-apa (kalau anak-anak akan jadi lebih baik dsb), tapi kalau saya ngga nyoba saat itu mungkin saya akan lebih nyesel kedepannya.
Satu lagi. Alasan lain Bapak ibu saya keberatan karena melihat contoh yang kebanyakan tidak baik dari teman-teman bapak ibu yg istrinya Ibu Rumah Tangga, entah yang istrinya 'cuma ngrumpi kerjaannya', atau anaknya 'nggak jadi', atau 'masa tuanya malah susah, tabungan habis'.

Saprina & Novi:
Terharu....mudah-mudahan saya bisa membahagiakan orangtua dengan cara yang lain.
Dieni: Aamiin.. iya mba. Yg jelas there's no way for me.  Saya membuktikan saya bisa lebih baik dari ibu saya dulu. Makanya sebenarnya saya ngerasa ga punya argumen apa2 juga.


Jumat, 18 Agustus ini 


Comments

Popular Posts