Anak Mandiri Mama Happy

Kemandirian pada anak yang dimulai sejak usia dini akan membangun kepercayaan diri pada si anak. Saya termasuk salah ‘satu pengikut aliran ini’.  

Masih ingat saat saya mengajarkan si sulung, Sp mengerjakan pekerjaan rumah di usia 4 tahun. Mencuci piring dan sendok setiap dia selesai makan. Membereskan mainan setelah selesai bermain dan pekerjaan sederhana lainnya. Bertambah umur bertambah pekerjaan yang saya ajarkan kepada dia. Tidak saja sodara-sodara yang protes, suami juga ikutan protes. Alasan yang saya berikan saat itu adalah, bukan sekedar menyuruh anak kerja. Tapi melatih dan memupuk tanggung jawab juga kemandirian.


Ironisnya, kemandirian pada anak usia aqil baligh saat ini banyak dikesampingkan oleh para orangtua yang merasa kasihan melihat kesibukan  anak-anak dalam mengerjakan tugas dan PR dari sekolah. Keadaan ini akhirnya membuat si anak yang justru akan memasuki usia dewasa belum siap mandiri.   


Bagi saya justru disaat anak masih belia lebih mudah melatih kemandirian ini. Di saat anak berusia 9 tahun ke atas sedikit tersendat. Untuk menyiasati hal ini, tidak jarang saya menanyakan dia, adakah perubahan tanggung jawab tahun ini dengan tahun sebelumnya? Bertambah atau berkurang atau gak berubah? Biasanya hal ini bisa memacu semangat Sp. Tidak jarang saya tekankan, dengan bertambah umur ada perbedaan dalam angka. Ini artinya harus ada perbedaan pula dengan keterampilan, keahlian serta tanggungjawab. “Isn’t it fair?” Pertanyaan itu saya buat dari pernyataan yang selalu dijadikan senjata oleh Sp saat meminta rasa adil antara dia sebagai kaka dengan adiknya, Sn yang masih tahun ini akan berumur 4 tahun. 

Sempat terlintas kekhawatiran dalam benak saya untuk memupuk kemandirian pada anak di usia remaja nanti. Apa yang saya lihat dewasa ini justru ironis. Kemandirian pada anak usia aqil baligh saat ini banyak dikesampingkan oleh para orangtua yang merasa kasihan melihat kesibukan  anak-anak dalam mengerjakan tugas dan PR dari sekolah. Keadaan ini akhirnya membuat si anak yang justru akan memasuki usia dewasa belum siap mandiri.   

Meskipun tidak jarang saya melihat Sp malas saat melakukan tugas untuk melatih kemandirian. Tapi rasa tanggungjawab dan empati Sp sempat membuat saya terharu. 

Pernah ketika saya menahan rasa sakit pasca cabut gigi bungsu. Esok harinya, saat itu Ahad, Sp tidak sekolah. Pagi-pagi setelah membuat  sarapan untuk dia dan adiknya. Sp juga menyetrika baju. Pekerjaan rutin yang selalu saya kerjakan.  Memutuskan memilih menu spaghetti untuk makan siang dia dan adiknya. Makanan kesukaan dia, dan dia sudah bisa masak sendiri. 

Perasaan hangat memenuhi rongga dada. Rasa haru, bahagia dan bangga bercampur aduk. Kemandirian dalam melayani, mengurus diri dan tanggung jawab sebagai anak sulung sudah dimiliki. Semoga saya sebagai ibu bisa istiqomah. Dalam memupuk kemandirian anak-anak. Aamiin.

 

*421kata

Comments

Popular Posts