Melatih Kemandiran Anak

 “Habitually doing things for your child that she’s capable of doing herself sends an inadvertent message that you don’t have confidence in her abilities,” Jeanne Williams 



Mempunyai anak yang mandiri adalah dambaan setiap orangtua. Tapi kemandirian pada anak tentunya tidak bisa terjadi secara instant.  Semua perlu proses dan tentu peran orangtua yang membersamai. Tidak saja memerlukan ketelatenan dan kesabaran, orangtua juga harus memberikan anak kebebasan dalam mengungkapkan keinginannya.  Tidak mengekang anak dengan aturan yang dibuat oleh orangtua. Disinilah orangtua dituntut untuk bersikap bijaksana dalam membentuk kemandiran pada anak. 

Kemandirian bisa dimulai di usia dini.  Sedini ketika usia anak-anak sudah bisa berjalan.  Dimulai dengan melakukan hal-hal sederhana untuk keperluan anak-anak. Misalnya meminta mereka membereskan mainan setelah selesai bermain.  Membiarkan mereka memilih baju yang ingin dipakai hari itu.  Kita harus menghargai pilihannya sekalipun anak memilih paduan warna yang tabrakan tidak cocok sama sekali. Kita tidak bisa mengkritisi.  Kecuali dalam kondisi tertentu misalnya di saat udara panas anak memilih baju yang berbahan tebal.  Kita bisa menjelaskan bahwa hari ini cuaca panas akan lebih baik memilih baju ringan agar terasa ringan tidak tidak membuatnya kegerahan.

Jeanne Williams seorang psikolog di Edmonton Canada, menyatakan "Habitually doing things for your child that she’s capable of doing herself sends an inadvertent message that you don’t have confidence in her abilities.”  Apabila orangtua keseringan melakukan pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan oleh anak. Si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang percarya diri.  Karena dengan melakukan pekerjaan yang sebetulnya mampu dikerjakan oleh anak, merupakan signal bahwa orangtua tidak mempercayai kemampuan si anak.  

Ini sering terjadi di sekitar kita.  Misalnya kita bantu memakaikan sandal atau sepatu ketika kita akan keluar rumah. Memakaikan baju pada anak. Menyuapi anak.  Semua dilakukan oleh orangtua bukan karena si anak tidak mampu melakukan sendiri.  Tapi karena orangtua tidak cukup sabar menunggu anak melakukan semua pekerjaan itu karena memakan waktu lama! 

Dari kebiasaan sederhana ini justru anak-anak akan mempunyai kepercayaan diri secara alami.  Dengan bertambah umur bertambah pula kemampuannya untuk memenuhi keperluan sendiri.  Lama-lama hal ini tidak saja akan memupuk rasa percaya diri tapi juga akan menumbuhkan pribadi yang mandiri, disiplin dan tanggung jawab.  

Sebelum bergabung di kelas Bunda Sayang batch #1 di Institute Ibu Profesional. Saya mempraktekkan semua ilmu yang saya dapatkan dari artikel parenting kepada si sulung Sp. Memiliki anak satu tentu lebih mudah mempraktekkannya.  Kritik sering saya dapatkan baik dari keluarga maupun dari teman-teman ketika tahu saya meminta Sp mencuci piring setelah makan, membersihkan lantai setelah bermain dough. Mereka keliru dengan berpikir semua itu saya lakukan agar pekerjaan saya lebih ringan.  Karena diam-diam saya tetap akan mencuci kembali piring dan sendok plastik yang sudah dicuci Sp kalau memang kurang bersih.  

Ada pengalaman yang tidak bisa saya lupakan, awal Sp masuk sekolah untuk tingkat Nursery 2.  Saat itu umur Sp belum genap 4 tahun.  Saat saya menjemput di akhir jam pelajaran. Gurunya cukup kaget karena Sp belum bisa cebok sendiri setelah buang air besar.  Menurut saya hal itu wajar, karena kalaupun bisa tentu kebersihannya meragukan.  Guru tersebut meminta saya untuk mengajari Sp agar lebih mandiri.  Ketika saya bicarakan hal ini dengan beberapa teman yang mempunyai anak seusia Sp.  Tidak ada satupun dari mereka yang sudah bisa cebok sendiri setelah buang air besar. Malah ada teman sekelas Sp yang masih pakai diaper! Jadi saya ambil kesimpulan, Sp tidak sendiri yang belum bisa membersihkan diri, tapi ini jadi catatan penting bagi saya untuk segera mengarjarinya.

Beberapa tahun kemudian ketika anak kedua saya, Sn masuk sekolah tingkat Nursery 2. Saya sudah pastikan dia lulus toilet training yang lengkap.  Yang menariknya ketika teman saya bertamu di saat yang bersamaan Sn sedang di toilet melakukan hajatnya.  Teman saya terheran-heran kenapa saya tidak membantu Sn di toilet.  Dia masih kelihatan kurang sreg apakah akan betul-betul bersih.  Saya jawab karena sudah dilatih dan  terbiasa tentu saja bersih.  Saya bertanya-tanya dalam hati dengan reaksi demikian bisa ditebak anak teman saya yang dua tahun lebih tua usianya dibanding Sn mungkin saja belum betul-betul lulus dari toilet training.  Disini kita bisa tahu, betapa sangat umum para orangtua yang kurang percaya sama kemampuan anak-anaknya. As saying "practice makes progress?"

Saat bergabung di kelas Bunda Sayang, Melatih Kemandirian anak merupakan materi kedua dari dua belas materi yang ada.  Dalam materi ini para member dikenalkan dengan program one week one skill.  Setidaknya ketika materi dua berakhir, anak-anak sudah memiliki empat skill baru. Dan kita sebagai orangtua bisa melanjutkan program tersebut dalam melatih kemandirian pada anak dan juga menumbuhkan rasa percaya diri.  

Saat menerima materi ini si sulung berusia hampir sepuluh tahun, sementara si bungsu hampir tiga tahun. Mengenalkan toilet training untuk si kecil dan menambah daftar pekerjaan rumah untuk dikuasai oleh si sulung Sp.


Dalam satu bulan mempraktekkan materi ini, saya mengelompokkan hasil melatih kemandirian ini dalam tiga kategori yaitu biasa, baik dan the best. Kategori biasa ini untuk si bungsu Sn masih perlu waktu untuk lulus toilet training. 

Sementara kemandirian lainnya berjalan dengan baik. Yaitu minum tanpa disuruh atau tanpa diminta,  dia akan dengan sendirinya minum di botol atau di gelas yang saya siapkan di meja yang terjangkau olehnya. Tidak ada istilah menumpahkan air minum untuk main-main air.  Saya membiasakan anak untuk banyak minum agar terhindar dari dehidrasi.  Memakai celana sendiri, makan sendiri dengan porsi yang normal dan menggosok gigi sendiri. 


Kategori baik untuk si sulung tidak  menemukan masalah yang berarti. Alhamdulillah lancaaar. Seperti biasa, saya melakukan semacam case study berdasarkan apa yang terjadi disekitar kita untuk meningkatkan tanggungjawab atau menguasai satu aktifitas kemandirian yang sesuai dengan usianya.  

The best category is, saat itu saya pergi ke klinik untuk cabut gigi bungsu dan gigi yang bermasalah sehingga mengakibatkan infeksi gusi. Rasa sakit pasca dicabut ternyata berkepanjangan sampai 3-4 hari. 

Disaat 'menikmati' rasa cenut-cenut berkepanjang itu, si sulung memperlihatkan kemandiriannya.  Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi membantu meringankan tugas saya sebagai ibu.  Memandikan adiknya, memasak nasi di sore hari daaaan menyetrika baju dia dan baju adiknya. Alhamdulillah..... terharu dan rasa bahagia memenuhi rongga dada. 

Semua butuh proses.  Seperti yang tertuang dalam materi yang diberikan oleh fasilitator, saya menggarisbawahi bahwa Kunci utama saat mengenalkan kemandirian pada anak itu adalah: bersiap repot dalam enam bulan pertama, membersamai anak serta menjaga komitmen dan konsisten pada aturan.

Saat ini tantangannya adalah menjaga konsistensi terhadap si sulung.  Selain jam kurikulum di sekolah yang lama, dia melihat teman-teman sebayanya tidak memiliki tanggungjawab yang sama.  Teman-temannya tidak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga sekalipun yang mudah.  



Saya tidak mau memanjakan anak saat ini karena perasaan iba dengan beban sekolah anak-anak.  Karena keibaan kita itu justru akan menjadikan anak kita menjadi pribadi yang kurang percaya diri.


Saya mencoba untuk berdamai dengan diri. Berdamai dengan keadaan rumah yang jauh dari rapi.  Mengedipkan mata kepada suami sebelum protes dengan berserakannya mainan, puzzle, crayon dan kertas gambar yang sudah dibereskan oleh si bungsu Sn.   

Seperti yang disarankan oleh psikolog Jeanne Williams, orangtua harus relaks. Cukup memperhatikan tips berikut dalam melatih kemandirian anak:

1. Memberikan dukungan pada anak bahwa dia sudah besar.  hindari kalimat, "Kamu sudah bukan anak kecil lagi." Tapi rubah dalam kalimat yang memberikan rasa percaya diri, seperti "Maaf ya, ibu kok seperti menganggap kamu masih kecil, dengan ngerjain ini itu buat kamu. Padahal kamu sudah bisa melakukannya sendiri karena kamu sudah besar." 

2. Membuat daftar aktifitas atau pekerjaan, dan biarkan anak yang memilih aktifitas atau pekerjaan mana yang bisa dia lakukan.
Kenalkan aktifitas atau pekerjaan baru setelah pekerjaan lama dikuasa anak.

3. Bersabar dengan waktu. Ini yang krusial.  Justru karena kita tidak sabar menunggu akhirnya kita yang melakukan pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan oleh anak. Caranya kita harus menyiasati dengan melakukan segalanya lebih awal dari biasanya. Karena waktu yang diperlukan anak-anak akan lebih lama dibanding kita yang melakukan.  

4. Berkompromi.  Bila suatu waktu anak menolak melakukan tugasnya, kita bisa bantu sebagian. Misalnya saat anak tidak mau melepas baju sebelum mandi.  Mintalah dia yang membuka kancing baju, kita bantu melepaskan baju. Dia yang menyabuni badannya, kita yang membilasnya.

5. Jangan mengharap kesempurnaan. Hasil menyisir yang tidak rapi, kombinasi baju yang tidak cocok adalah sebagai beberapa contoh.

6. Berilah pujian.  Sekalipun anak memakai sepatu terbalik.  Kita tidak perlu langsung bilang,"itu terbalik nak." Tapi kita tetap memujinya tanpa dibantu dia sudah bisa pakai sepatu sendiri.  "Waaah, pinter sekali sudah pakai sepantu tanpa diingatkan sebelumnya. Coba jalan, gimana? Nyaman gak sepatunya?" Kita bisa mengarahkan dia bahwa ada hal yang kurang tepat.

7. Ketika bosan melanda. Jangan mengenalkan tanggungjawab baru.  Ajak ngobrol anak tentang hal-hal yang membuat dia tertarik. Dengan sendirinya anak akan kembali semangat.

Apa yang sudah saya lakukan dan capai tentuk bukan top of the top result. Masih banyak yang harus saya lakukan untuk melatih kemandirian anak-anak.  Bertambah usia bertambah tingkat kesulitan untuk mengajarkan dan melatih kegiatan rutin baik untuk menjadi rutinitasnya. Seperti yang saya sebutkan di atas lingkungan sekitar sangat berpengaruh kuat. Tantangan baru disamping konsistensi dan komitmen. Hilangkan rasa iba.  Komunikasi persuasif dan tetap berpikiran positif bahwa semua ini merupakan tanda cinta orangtua terhadap anak-anak sebagai bekal yang berharga dalam kehidupannya di masa mendatang.







sumber: 
1. Tim Fasilitator Bunda Sayang. 2017
2. todayparents.com.  
Jackie Gillard, Help yourself! 8 tips for teaching kids to be more independent. September 2016 

Comments

Popular Posts