Bahagia itu Dekat

Bahagia itu dekat dengan kita. Ada dalam diri kita.

Kalimat diatas menarik perhatian saya ketika sedang berselancar dari toko buku kenamaan saat mudik bulan lalu. Selain judul bukunya yang menarik, terlebih ketika melihat  pengarangnya. Tidak perlu menunggu lagi, langsung ambil bukunya dan masuk keranjang.

Sudah lama saya tertarik dengan ilmu tasawuf, tapi tentu memilih penulis buku bacaan tasawuf juga perlu teliti. Tidak hanya satu dua orang yang hobi membaca menyarankan saya untuk membaca tulisan Hamka tentang tasawuf.


Apa itu tasawuf? 

Menurut Ibnu Khaldun, tasawuf itu merupakan semacam ilmu syari’ah yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya adalah bertekun dalam ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala hal kecuali Allah. Hanya menghadap kepada Allah semata.

Sedang menurut Junaid, tasawuf ialah keluar dari budi perangai tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.

Jadi ingat obrolan beberapa tahun yang lalu di rumah seorang teman. Suami teman itu merupakan keturunan Arab yang memang garis keluargnaya itu punya peran dalam penyebaran agama Islam di Singapura. 

Saat dia tahu saya tertarik dengan ilmu tasawuf. Sambil senyum suami teman saya itu bilang “Wah hati-hati nanti malah mau ngopi aja jadi urung karena ngenal ilmu tasawuf yang nanggung.” Sayapun nyengir. He sent a message to me to be more careful to learn this subject.

Dari pengertian tasawuf di atas ditambah saran yang dicampur dengan olokan suami teman saya, bisa tahu tentang penjelasan apa itu tasawuf.

Sejalan waktu berjalan menurut pemaparan Hamka pada buku yang saya baca ini. Kerajaan Islam bertambah besar dan meluas di dunia, keluar dari tanah Arab.  Dengan demikian para pemeluk agama Islam mengenal bangsa-bangsa lain juga agama-agama lain. Yang akhirnya sedikit banyak mempengaruhi dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Termasuk paham filsafat pada dunia Islam.  Hal inilah yang banyak mempengarui lahirnya kaum mu’tazilah.  Bila menggunakan susunan kata yang sederhana yaitu kaum yang lebih mengedepankan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Kaum ini   cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Alquran secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim. Dari adanya perbedaan inilah lahir kaum tasawuf.

Dengan adanya kemajuan dalam kehidupan saat itu. Termasuk hadirnya kemewahan dalam kehidupan.  Para ahli pikir saling berbantahan tentang peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Juga tentang peran manusia dalam hidupnya. Apakah ia tetap sebagai Islam apabila sudah melakukan dosa besar?

Dalam keadaan yang pikuk inilah, lahir kelompok yang merasa jenuh dan jemu dengan keadaan. Mereka menjauhkan diri dari urusan kemewahan, bahkan dari urusan duniawi. Dan mendekatkan diri pada Tuhan. Yang ekstrim lagi sampai tidak mau lagi mencari rezeki harta. Karena dengan kehadiran harta bisa menimbulkan hal-hal yang erat hubungannya dengan hawa nafsu.
Memiliki harta berlimpah sama dengan memberi kesempatan hawa nafsu untuk menguasai diri. 

Keadaan inilah yang akhirnya melahirkan kaum sufi. Mereka seolah mengasingkan diri dari urusan duniawi. Termasuk tanpa mereka sadari mengharamkan hal-hal yang dihalalkan oleh Tuhan. Dengan mengasingkan diri dari urusan duniawi mereka benar-benar bisa menikmati hidup dalam “kesunyian” tasawuf.

Semangat yang keliru ini yang dibahas oleh Hamka pada buku Tasawuf Modern. 

Tasawuf yang dianut oleh kaum “sufi” diatas bukanlah semangat ajaran Islam yang selalu mengajarkan semangat juang dalam hidup. Bukan bermalas-malasan. Karena manusia memiliki misi hidup di dunia ini. Menebar kebaikan dimanapun berada, semangat mencari rezeki dan menggapai kemulian.

Maksud tasawuf diatas yaitu suci. Pikiran dan hati yang suci, jauh dari kedengkian, kemalasan. Semua ini bisa diraih tanpa harus menggunakan baju khas agar menjadi identitasnya sebagai sufi, atau praktisi tasawuf. Tidak perlu harus mengeram diri dalam ruangan demi menjauhkan diri dari kegiatan duniawi.  

Pikiran dan hati suci bisa diraih dengan menebar cinta, manfaat dalam keseharian, sehingga peran kita dalam kehidupan juga dirasakan oleh orang lain yang hidup berdekatan dengan kita. Sehingga kebahagiaanpun tercipta. Sesederhana itu.

Yang menyulitkan kita untuk menggapai bahagia bukanlah faktor yang ada diluar kita. Tapi dalam diri kita. Ketika kita tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol keinginan yang berlebih. Keinginan memiliki harta banyak. Keinginan untuk menyaingi seseorang. Keinginan untuk sama dengan orang lain. Termasuk keinginan untuk meninggalkan urusan duniawi. 

Bagaimana kita bisa berzakat yang merupakan kewajiban seorang muslim bila kita menjauhkan diri dari urusan duniawi secara berlebihan. 
Kita perlu bekerja untuk mendapatkan uang dan kita bisa berzakat. Bukannya berlindung kepada ketidakmampuan kita karena tidak memiliki uang karena tidak mau bekerja.

Bersambung....


Sumber: Tasawuf Modern, Prof. DR. Hamka. Penerbit Republika. Cetakan VIII, Januari 2018












Comments

Popular Posts