Bahasa Ibu

Ketika mendengar kata bahasa ibu  selalu membuat saya nyengir. Karena tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahasa ibu akan jadi hal yang cukup runyam bagi anak-anak.

Bahasa ibu saya adalah bahasa sunda. Bahasa ibu suami hokien. Keseharian kami dalam keluarga saat berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris.  Saat si sulung masuk Sekolah Dasar, kami sepakat dia mengambil bahasa Mandarin.  Tujuannya sih agar si anak bisa berkomunikasi dalam bahasa ini mengingat mayoritas di Singapura menggunakan bahasa Mandarin. Kami tidak mematok dia untuk dapat nilai bagus pada rapot.

Di keluarga, suami bisa berkomunikasi dalam bahasa Mandarin, sementara saya kurang menguasai.  Cukup bisa berbicara untuk hal-hal sederhana. Bila ketemu orang yang berbicara Mandarin dengan tempo yang cepat, celakanya memang bahasa Mandarin selalu dalam tempo cepat normalnya. Saya akan kerepotan untuk mengikutinya.

Saya cukup telat mengerti peran bahasa ibu sangat penting untuk perkembangan emosi pada anak. Sempat membicarakan dengan teman-teman di komunitas tentang bahasa ibu anak saya sebetulnya apa.  Beberapa teman bilang bahasa Indonesia. Mengingat saya menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari dengan teman-teman. 

Tapi pendapat teman-teman tersebut terasa kurang sreg. Karena di luar sekolah saya sering berbicara dalam bahasa Sunda. Apalagi saya merasa di saat-saat tertentu lebih suka menggunakan bahasa Sunda untuk mengekspresikan emosi. Apakah itu sedang senang luar biasa, kesal juga bercanda. Saat sedih saya lebih suka diam.

Dengan alasan ini, akhirnya  saya berpikir tidak perlu mencari-cari tahu apa sebetulnya bahasa ibu anak-anak saya. Untuk menghindari gagap emosi, saya mengenalkan frase-frase bahasa Sunda yang berhubungan dengan mengekspresikan emosi kepada anak-anak. 

Hasilnya seruuu... mereka menggunakan frase-frase tersebut sambil bercanda. Dengan ekspresi muka sesuai dengan frase-frase tersebut. Terlebih saat berkomunikasi dengan saudara-saudara dari pihak saya. Alhamdulillah selalu ada jalan.