Gadget Berdampak Buruk pada Anak?




Sering ya kita dengar para orangtua mengkhawatirkan anak-anaknya lengket sama gadget.  Beragam pendapat disampaikan para ahli bahwa dampak ketagihan gadget pada anak akan berpengaruh pada perkembangan mental, menjadi hangat di kupas dalam berbagai forum.

Anak yang sudah kecanduan gadget biasanya kurang memiliki rasa simpati dan empati. Mudah kecewa karena hampir tidak mengenal kata sabar, mengingat respons yang diberikan gadget begitu cepat terhadapa apa saja yang dia inginkan. 

Ketika dalam kehidupan normal dia ingin sesuatu harus ada proses menunggu. Proses menunggu akan terasa lama bagi anak sehingga akan membuat dia uring-uringan, akhirnya kembali ingin main gadget. Lalu orangtua tidak mengijinkan, sudah pasti si anak akan marah-marah, tantrum. Orangtua makin jengkel ataupun malu bila ini terjadi di tempat umum. Akhirnya mengalah dan mengikuti kemauannya. 

Bila terulang seperti ini, anak-anak tahu apa yang harus mereka lakukan agar orangtua bisa meluluskan kemauan mereka. Terus berulang. 

Seburuk itukah peran gadget pada anak-anak?  Menurut Maryana, M psi, Psi , psikolog anak dari RS Awal Bros Batam, dampak negatif gadget pada anak itu bisa diatasi dengan berbagai cara, seperti membuat jadwal bersama anak, misalnya jadwal menonton atau bermain bersama. Orangtua merupakan role model anak dirumah. Mereka akan mencotoh orangtuanya. Karena itu, orangtua harus mengurangi penggunaan gadget ketika sedang didalam rumah. 

Adakah manfaat gadget bagi anak-anak? Kita tahu banyak program-program edukatif dalam gadget. Dan ini menjadi penghibur bagi kebanyakan orangtua untuk mengijinkan anak-anak main gadget, less guilty. Padahal bila merunut apa yang disampaikan oleh Maryana, layar statis akan memberikan efek yang tidak sehat bagi perkembangan mental anak-anak. Lalu baik games online maupun program edukasi yang ditawarkan oleh gadget pun tersaji dalam layar statis.

Saya jadi ingat tulisan Malcolm Gladwell di Tipping Point, yang menceritakan bagaimana pencipta program pendidikan preschoolers yang melibatkan pendampingan orangtua.  Tidak tanggung-tanggung produser televisi tersebut mengundang psikolog dari Harvard University untuk ikut terlibat dalam pembuatan program tersebut.

Awalnya dia tidak setuju dengan sistem penyampaian melalui media layar statis. Sang producer tidak menyerah, dia menyampaikan bahwa program ini akan dikemas berbeda, yaitu mencontoh iklan-iklan perusahaan besar dan ternama. Mengundang tokoh-tokoh dewasa yang terkenal sehingga mampu merangsang rasa keingintahuan si anak, sekaligus menstimulus emosi. Program itu berhasil menjadi tontongan yang membumi, siapa yang tidak kenal Sesame Street.

Setelah berjalan cukup lama, keberhasilan Sesame Street dalam mengikat para orangtua dan anak-anak di dunia edukasi melalui layar statis. Rupanya mendorong dua orang yang terlibat dalam tim pembuatan program ingin menciptakan program baru yang lebih hidup. Sehingga anak yang menonton ikut terlibat dalam memutuskan cerita di layar tv.

Dua tokoh ini lalu bersama televisi lain membuat program edukasi baru, Blue Clues. Dalam setiap episode karakternya sama. seekor animasi anjing yang diberi nama Blue, seorang pemuda bernama Josh, ember, sekop dan kursi. 

Dalam setiap tayangan Josh akan berinteraksi dengan penonton dengan cara bertanya lalu menunggu respons dari penonton sebelum melanjutkan pada adegan berikutnya.

Dari cerita dibalik pembuatan dua program edukasi Sesame Street dan Blue Clues diatas, saya pikir tidak masalah anak-anak bermain gadget atau layar statis lainnya. Selama kita sebagai orang tua hadir mendampingi mereka.

Bila melihat sistim pendidikan di sekolah yang memberikan gaya pengajaran yang konvensional, tidak terlalu jauh berbeda dengan program edukasi di layar statis. Di luar sekolah anak-anak harus didampingi orangtua saat belajar, bahkan ikut bimbel.    

Kasihan juga anak-anak kalau orangtua terlalu strick tidak mengijinkan main gadget atau nonton televisi. Sekalinya berkunjung ke rumah saudara atau teman yang membebaskan anak-anak mereka nonton tv. Tentu anak tersebut akan lebih asik menonton ketimbang bermain dengan teman atau saudaranya. Karena selama ini tidak pernah nonton. 


Saya termasuk orangtua yang tidak terlalu ketat memberi aturan kepada anak-anak untuk bermain gadget.  Apalagi suami termasuk penggila online games. Kita bisa memulai dengan melibatkan anak manfaat gadget, dari bermain, belajar dan berkomunikasi. Libatkan anak dalam membuat aturan dan jadwal screentime, dilengkapi aksi dan konsekuensi agar anak mengerti dari awal apa yang akan terjadi bila melanggar jadwal kesepakatan. 


Jadi Siapkah kita mengurangi screentime dalam keseharian? Ingin anak lebih lengket pada buku dibanding gadget, kita  harus coba sendiri dan mencotohkan. Bila kita sebagai orang dewasa saja susah apalagi anak-anak bukan? 


Comments

Popular Posts