Kampus Ibu Pembaharu: Ciptakan Solusi Lebih Banyak dari Masalah

 


Everyone is a Changemaker 

Aah... suasana hati terasa hangat saat menyambut awal bulan Juli 2021, secara resmi saya  menjadi mahasiswa Kampus Ibu Pembaharu. Setelah mengikuti masa orientasi yang seru akhirnya kini mulai berkutat dengan tugas materi pertama, Identifikasi Masalah.

Setiap orang hidup sudah pasti memiliki masalah, yang membedakan adalah bagaimana cara menghadapinya. Di kampus Ibu Pembaharu semua mahasiswa diminta mengumpulkan masalah dan memasukkannya ke dalam Bank Masalah. Sesuatu yang baru kan! Biasanya kita mengenal istilah bank ide, ini kok bank masalah. Pada umumnya orang menghindari masalah, di sini kami harus menerima masalah yang ada di sekitar, lalu mencari solusi bila perlu ciptakan lebih dari satu agar jumlah solusi lebih banyak dibanding masalah. Bagaimana caranya? Menjadi Agen Perubahan. Everyone is a changemaker! 

Ibu Septi berperan sebagai Design Program di Kampus Ibu Pembaharu adalah tokoh Pembaharu yang sudah dikenal baik secara nasional maupun internasional. Di kelas Bunda Salihah beliau membangun ekosistem untuk melahirkan para Ibu Pembaharu. Slogan yang diusung adalah It takes an ecosystem to raise a changemaker.



Ibu Pembaharu: Every mother a changemaker. 
Untuk menjadi Ibu Pembaharu, setiap ibu harus konsisten melakukan:
  • Cognitive empathy: tidak sekedar prihatin atas masalah yang terjadi di sekitar. Selain mampu mendengar dan melihat permasalahan sekecil apapun masalah sosial akan tergerak untuk aksi. 



  • Teamwork: berkolaborasi dalam melengkapi keahlian dan potensi yang dimilikinya
  • New leadership: mengembangkan  serta menginspirasi ketahanan dan kepemimpinan dalam memecahkan masalah sosial sejak dini pada anak. 
  • Creative problem solving: berpikir kritis untuk menghasilkan solusi inovatif dalam mengatasi masalah yang kompleks.


Identifikasi Masalah

Setelah mengumpulkan masalah dan memasukkannya dalam bank masalah. Langkah selanjutnya adalah mengelompokkannya berdasarkan kategori: Individu, Keluarga, Lingkungan/Sosial. Lalu pilih satu masalah kategori apapun, dan siap diolah sesuai materi pada dua minggu pertama di Kampus Ibu Pembarahu.

Untuk kategori pribadi, saya memiliki empat hal yang seringkali datang memenuhi pikiran: 

1. Kebebasan Finansial
Saat memutuskan untuk berhenti bekerja di ranah publik saya tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Karena selain merupakan cita-cita masa remaja ingin menjadi ibu rumah tangga, saya juga menikmati waktu luang dengan melahap bacaan yang sebelumnya terlupakan karena keasikan kerja. Uang saku bukan yang menjadi alasan saya dalam kebebasan finansial karena bagaimanapun saya buka tipe orang yang gila-gilaan saat berbelanja. 

Tinggal di tanah rantau, tidak memiliki rumah masa depan di tanah air, biaya pendidikan tinggi itu yang menjadi salah satu alasan kekhawatiran saya. Memiliki rumah di tanah air tanpa ditinggali ataupun disewakan kepada orang lain bukan merupakan investasi karena biaya perawatan lebih tinggi. Saya terbiasa dengan plan A & B. Dalam pemikiran akan lebih baik bila ada back up plan dan itu bisa dimulai dengan merintis usaha yang berkah

Saat ini saya sedang membangun Rentsi's Corner, one stop service for every worman. Sesuai dengan tagline memberi pelayanan yang dibutuhkan oleh para perempuan agar mereka menjadi individu yang bahagia dan percaya diri. Bidangnya meliputi hal-hal yang sangat berhubungan erat dengan bakat dan potensi yang saya miliki. 

2. Aksen Bahasa Inggris
Saat saya masih bekerja di ranah publik saya bergabung di Multinational Company, tidak memiliki permasalahan yang berarti bila harus berkomunikasi dalam bahasa Inggris, baik lisan maupun tulisan. Pada kesempatan kerjasama dengan crews dari Channel 7 Perth Australia yang datang ke Jakarta. Saya sempat merasakan ada hal yang aneh saat kami berkomunikasi. Tapi karena itu tidak terjadi pada saya sendiri, saya abaikan perasaan itu. 

Ternyata ketika native speakers menemukan hambatan dalam berkomunikasi yang disebabkan oleh aksen Inggris Indonesia. Ini tidak terjadi pada expatriate yang sudah lama bekerja di Indonesia karena mereka sudah terbiasa dengan aksen tersebut. 

Sayapun mengetahui aksen ini setelah tinggal menetap di Singapura. Itu terjadi di tahun kedua. Menyadari ternyata saya termasuk orang Indonesia yang berbahasa Inggris dengan aksen Indonesia. Selain itu pengucapan bahasa Inggris di Indonesia lebih didominasi dengan pengucapan American English sementara di Singapura mereka menggunakan British English. Mungkin teman-teman selama ini lebih fokus pada singlish ketika ada masalah saat berkomunikasi. Jadi terkesan kita menyalahkan pada singlish sehingga kita tidak mengerti padahal bisa jadi orang lokalpun tidak mengerti sepenuhnya dengan apa yang kita ucapkan. 

Hal ini tidak menjadi masalah besar dalam percakapan sehari-hari. Tetapi perbedaan pengucapan, aksen Indonesia juga secara tatabahasa yaitu Inggris versi Indonesia itu bisa menjadi 'masalah berarti' saat kita berbicara di forum formal. Ini menjadi batu hambatan saya saat public speaking. 

3. Nada suara tinggi
Merubah ini serasa akan menjadi PR yang menantang bagi saya karena sudah bawaan sejak kecil... tidak mau bilang bawaan lahir ya haha. Dulu saat masti bekerja di ranah publik, saya menyiasatinya agar orang tidak salah mengerti. Bila saya kesal atau marah, saya akan menyampaikan saya marah.... atau saya kesal... lalu baru menyampaikan apa yang membuat saya marah atau kesal. Jadi tim langsung dapat poinnya. Karena kalau tidak begitu sia-sia. Kita marah-marah lalu tidak dianggap mereka karena nada suaranya normal seperti biasa,  melengking. 

Kebiasaan ini sempat membuat teman-teman ketawa: "Marah kok ngomong, langsung aja marahin orang yang dituju," begitu menurut mereka. Tapi saya tetap dengan kebiasaan itu.

Setelah mengenal ilmu parenting, tenyata siasat yang biasa saya lakukan itu sudah benar alias on track. Sampaikan kepada anak-anak kalau kita sedang marah atau kesal. Tidak langsung memberondong mereka dengan omelan-omelan panjang. Karena hal itu malah membuat anak-anak bingung karena tidak mengerti. 

Apakah mudah untuk menurunkan nada suara dalam waktu singkat? Tentu tidak, saat ini saya sedang berlatih bersama anak-anak untuk mengontrol nada suara ketika berbicara. So far so good. Tapi saat senang, kaget dan kesal suara melengking tetap meluncur dari rongga mulut, haha. 

Lalu kapok dan capekah? Tidaaaak. Saya masih tetap belajar untuk menurunkan nada suara. Batu aja bisa terbentuk karena tetesan air yang terjadi secara terus menerus, masa nada suara gak bisa turun satu level bila selalu dilatih secara konsisten. Tetap optimis!


4. Kualitas diri sebagai pribadi, ibu dan istri
Masalah ini yang kerap menghampiri saya. Waktu begitu cepat berlalu, anak-anak tumbuh dan memerlukan pendampingan yang benar. Tidak sekedar baik. Saya ingin mereka tumbuh sebagai individu yang bahagia dan mengerti bagaimana mengaktifkan tombol yang tepat dalam menghadapi setiap kejadian dalam hidup. Karena bagi saya secanggih atau semaju apapun era dimana mereka hidup, sikap waras serta rasa peduli terhadap sesama tetap akan dibutuhkan. Perbekalan ini yang ingin saya berikan kepada mereka.

Begitu banyak model parenting saat ini, saya tidak ingin memilih sesuai trend alias jadi follower. Sebagai orang yang lebih suka anti mainstream dibanding following the stream, saya ingin memiliki cara sendiri dalam membersamai dan mempersiapkan anak-anak. 

Keberadaan saya di komunitas Ibu Profesional memberikan banyak bekal ilmu parenting. Saya menggabungkan beberapa metode dan meraciknya dengan cara yang gue banget. Studi kasus, analogi, membebaskan mereka seperti main layangan, tarik ulur. Semua dimulai dengan mengenal diri sendiri lalu mengenal karakater anak. Dengan demikian akan 'mudah' masuk dan memandu mereka. Ya mudah dalam gambaran dan pendapat saya saat ini, dalam menjalankan tentu akan membutuhkan energi banyak agar mood tetap terjaga dengan baik sehingga tidak mengeluarkan lengkingan suara (masalah nomor tiga di atas).

Masalah ke empat dalam kategori individu ini, ternyata sering saya temukan pada lingkungan. Ya ini adalah masalah sosial. Banyak orangtua yang terpesona dengan keberhasilan atau kesuksesan orang lain akhirnya mengambil jalan yang sama dalam mendidik anak. 

Akhirnya saya memutuskan untuk memilih masalah ke empat ini untuk digodok dalam materi di perkuliahan Bunda Salihah.  Masalah yang masuk dalam kategori individu juga sosial.

Pengelompokkan masalah yang masuk dalam kategori keluarga dan sosial lebih detail saya tuangkan dalam video di bawah ini lengkap dengan Analisa Akar Masalah. 






Problem Statement

Setelah memilih satu masalah tersebut, langkah selanjutnya adalah memasuki problem statement. Mengenal diri sendiri agar hidup lebih berkualitas bisa dicapai. Indikator hidup berkualitas bagi saya adalah mengatur waktu seefektif mungkin agar bisa produktif. Sibuk yang produktif dan memberi manfaat baik kepada orang sekitar maupun diri sendiri. Selain mengelola waktu saya juga akan memulai gaya hidup minimalist. Mengimplementasikan "Do I need it?" Or " Do I just want it?"

Seperti yang saya jelaskan di atas, saya tahu ini merupakan masalah karena sering memenuhi pikiran. Dan ternyata permasalahan ini juga menerpa para perempuan di luar sana. Baik yang bekerja di ranah publik maupun domestik. Dan permasalahan ini sangat besar pengaruhnya pada cara kita berinteraksi dengan orang-orang terdekat. 

Sebagai indikator masalah ini selesai dan teratasi adalah saya menjadi orang yang merdeka, worry free, tidak ada ganjalan ataupun keraguan mengambil sikap di segala kondisi. Tampil percaya diri. Ini adalah modal utama dalam menentukan target sekaligus berjalan menikmati proses meraih target.

Selama menempuh perjalanan ini saya akan mendapatkan pencerahan, memperdalam pengalaman, memperluas wawasan. 💚






Comments

  1. 2 maslaah yg sama saya rasakan teh..
    1. Kualitas diri, ibu, dan istri
    2. Menata nada suara tinggi 🙈
    Keluarga saya biasa dengan sospol (sosorongit, popolotot) PR banget, karena ini sdh menurun di anak2.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts