Harkat dan Kemandirian Perempuan

Mengikat makna harkat dan kemandirian perempuan dalam buku Perempuan karya Quraish Shihab.


Salah satu kendala utama dalam mencapai sukses adalah pandangan seseorang tentang dirinya. Seseorang yang menilai dirinya melebihi kadarnya akan bersikap angkuh dan melecehkan orang lain sehingga akan tersisih dan akhirnya gagal dalam usahanya.

Dan bila seseorang yang rendah diri akan selalu merasa tidak mampu sehingga menyerah sebelum berjuang. Yang lebih parah saat seseorang tidak mengenal kadar dirinya. Dalam kondisi seperti ini dia tidak berontak pada pelecehan, malah menerima dan merasa itu pas dengannya. 

Perempuan seringkali diperlakukan secara tidak wajar, baik karena tidak mengetahui kadar dirinya maupun mengetahui tetapi terpaksa menerima pelecehan. Ini terjadi sejak dahulu hingga sekarang. 

Kita sering melihat di program televisi yang secara terang melecehkan perempuan. Ironisnya tayangan ini memiliki rating tinggi. Demikian juga di dunia maya, selain meme juga sticker atau gif yang melecehkan perempuan. Celakanya yang jadi model juga tidak jarang adalah seorang perempuan. Duh.


Martabat Perempuan di Masa Lalu

Kita mengenal filosof-filosof terkenal di jaman Yunani kuno, seperti Plato, Demosthenes, Socrates serta Aristoteles. Lalu bagaimana pandangan mereka terhadap perempuan sebagai tokoh yang memiliki nama besar? 

Dalam bukunya, Quraish Shihab menuliskan Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya. Sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah serta kehormatan perempuan pada kemampuannya dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana dan hina sambil terdiam tanpa bicara.  

Tidak kalah mengagetkan pendapat Socrates, yang menyatakan dua sahabat setia harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya. Sedangkan Demothenes berpendapat istri hanya berfungsi melahirkan anak.

Sejarah mencatat betapa perempuan dinilai sebagai makhluk kelas dua. Para filosof membicarakan apakah perempuan memiliki roh? Kalaupun punya, apakah roh tersebut roh binatang atau manusia?

Perempuan dinilai sebagai sebagai makhluk kelas dua. Dalam sejarah Romawi, kewanitaan menjadi salah satu sebab pembatasan hak seperti antara anak-anak dan orang gila. 

Di Perancis pada tahun 586 M, agamawan masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak. Apakah mereka juga dapat masuk surga? Kesimpulan yang mereka dapatkan adalah perempuan memiliki jiwa yang tidak kekal dan dia bertugas untuk melayani lelaki. Pada saat itu berhubungan seks dianggap suatu hal yang buruk sekalipun untuk melakukannya harus melalui pernikahan.

Pada tahun 1491 -1547 di Inggris, pemerintah tidak mengijinkan perempuan untuk membaca Kitab Injil. Di tahun 1849 dokter perempuan pertama yang menyelesaikan studinya di Geneve University diboikot oleh teman-temannya sendiri dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran. 

Menurut para pakar dasar pembedaan dan perlakuan ini karena kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan yang mengantar pada lahirnya pandangan terhadap peran utama kedua jenis makhluk Tuhan ini.

Tidak jarang agama sering dijadikan dalih untuk pandangan negatif terhadap perempuan, hingga sekarang. Interpretasi yang diberikan tokoh agama lahir dari pandangan masa lampau yang keliru dan telah melekat di benak para penafsir masa lalu. Pandangan ini terpendam di bawah sadar lelaki dan perempuan.

Perbedaan kualitas yang masih terasa dalam masyarakat lebih banyak disebabkan oleh kurang tersedianya peluang bagi perempuan untuk berkembang melalui pendidikan dan pelatihan. Ditambah kurangnya minat perempuan atau dorongan lelaki terhadap mereka untuk mengembangkan diri akibat meresapnya pandangan budaya yang keliru.

Bila merujuk pada kitab suci Al-Quran, Quraish Shihab menemukan citra perempuan yang terpuji adalah perempuan yang memiliki kemandirian, memiliki hak berpolitik dan kritis terhadap apa yang dihadapinya. 

Dalam QS An-Naml ayat 22-44 menceritakan tentang perempuan yang menjadi penguasa tertinggi negara yang bijaksana dan semua warga (lelaki dan perempuan) patuh kepadanya, kisah ratu yang menduduki tahta negeri Saba’ yang bernama Balqis. 

Pada masa Nabi Muhammad SAW, para perempuan diberi hak-hak mereka karena tidak mungkin ada kewajiban-kewajiban jika tidak disertai dengan hak-hak. Seperti yang tertera pada QS Al-Baqarah ayat 228 Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf.  

Melalui tulisannya ini, Quraish Shihab menyampaikan untuk mewujudkan harkat dan kemandirian perempuan serta untuk memelihara hak, kodrat dan identitasnya, perempuan tidak hanya harus merasa diri setara dengan lelaki tapi lebih dari itu. Perempuan harus membuktikan melaui kemampuannya dalam dunia nyata. 💦


Tulisan sebelumnya tentang:

Pandangan Bias Lama Terhadap Perempuan bagian 1

Pandangan Bias Lama Terhadap Perempuan bagian 2

Pembentukan Watak Melalui Perempuan




 




Comments

Popular Posts